XtGem Forum catalog

Well-Come
四 海 之 內,皆兄 弟 也.
✧"Sì Hǎi Zhī Nèi, Jiē Xiōng Dì Yě."
"Di Empat Penjuru Lautan, Semua Saudara."
☀ Confucius (LunYu,XII:5).

✧ Jun Zi
✧ The Wisdom of Confucius ✧

✧ PERSPEKTIF JUN ZI ✧

★ PENGANTAR
妻 子 好 合,如 鼓  瑟 琴

Qi Zi Ha He, Ru Gu Se Qin

兄 弟  既  翕,和 乐  且  泹

Xiong Di Ji Xi, He Le Qie Dan

Keselarasan hidup bersama anak isteri itu, laksana alat musik ditabuh harmonis.

Kerukunan kakak dan adik itu, membangun damai dan bahagia lestari.

(Shi Jing/Kitab Sanjak II.I.IV.7)

 

Salah sebuah program pemberdayaan yang dikembangkan oleh Dewan Rokhaniwan MATAKIN adalah program pendidikan pelatihan (Diklat): Leadership Basic Trainning (LBT) dan Pendidikan Kompetensi Dasar Keagamaan (PKDK). Program Diklat ini berisi sistem pelatihan kepemimpinan Junzi.   

 

Kong Jiao mempunyai perspektif berbeda dibanding konsep kepemimpinan dalam manajemen barat. Umumnya bersifat individual leadership. Kepemimpinan Khonghucu adalah kepemimpinan Junzi.

 

Kepemimpinan yang berakar pada Jalan Suci Zhisheng Kongzi merupakan kepemimpinan yang bersifat parental (Jun Zi min zhi fu mu), karakter pemimpin yang mengutamakan kekeluargaan bangsa, keteladanan dan pengayoman. Bersumber pada ajaran suci Da Xue adalah kepemimpinan seorang Jun Zi (君子).

 

Dalam hal ini hubungan seorang pemimpin dengan masyarakat yang mengangkatnya diharapkan memenuhi kedua unsur kepemimpinan orangtua terhadap anak-anaknya. Ketulusan, keikhlasan berkurban seperti seorang ibu, maupun keteladanan dan ketegasan untuk mengayomi seperti seorang ayah, perpaduan karakter yang diperlukan anak anaknya. Masyarakat/rakyat jelata dalam sudut pandang ini memerlukan pemimpin yang memenuhi kriteria layaknya sepasang orangtua, keibuan sekaligus kebapakan, Yin sekaligus Yang.

 

Di lain fihak seorang cendekiawan, Zhuangzi menilai perspektif kepemimpinan dalam ajaran Zhisheng Kongzi menunjuk aspek internal dan external. Secara internal mensifatkan ketulusan, kemuliaan karakter Sheng, kearifan seorang nabi. Secara external mensifatkan kekuatan menggerakkan, mengendalikan bercirikan karakter Wang, ketegasan seorang raja. Maka Zhuangzi menyebutnya: Nei Sheng, Wai Wang (内 圣  外 王).

★ KEPEMIMPINAN NEGARA
Bentuk kepemimpinan di negara modern memiliki dua pola dasar, yakni: kepemimpinan kerajaan (monarch) dan kepemimpinan demokratik (republic). Kepemimpinan kerajaan kini bukan kerajaan absolut (absolute  monarch) seperti Vatikan, melainkan kerajaan konstitusional (constitutional monarch). Raja/ratu (king, queen) cenderung sebagai kepala negara, pemersatu bangsa.  

 

Pemimpin yang menjalankan roda pemerintahan diserahkan kepada seorang yang mewakili rakyat (dipilih berdasar konstitusi) sebagai kepala pemerintahan.  Kepala pemerintahan lasimnya seorang perdana menteri (prime minister). Contoh: Thailand. (50th Asia Africa Conference; Gatra,2005)

 

Ada negara/kerajaan yang berlandaskan agama (Theocrazy).   Adapula negara/kerajaan non Theokrasi, namun memakai kearifan moral religius (moral religious wisdom) dari landasan universal agama agama. Indonesia adalah sebuah republik berlandas pada: Ketu hanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, untuk menegakkan Persatuan Indonesia, melalui sistem Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, menuju kepada Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Pancasila).  Semua agama dilayani setara di Indonesia.

 

Bentuk kepemimpinan sebuah republik sebenarnya masih terbagi pula dalam dua pilihan sistem pemerintahan/kabinet. Pertama, pemerintahan presidential cabinet. Kedua, pemerintahan dengan parliamentary cabinet. Kedua sistem ini tak akan menjadi pembahasan dalam penulisan ini, karena tergolong pengkajian menurut sistem. Kami akan lebih meneliti faktor kualitas moral kepemimpinan menurut sumber daya orangnya (human moral quality), apapun sistem yang dipergunakan.

★ LATAR BELAKANG KEPEMIMPINAN
Ajaran keagamaan (religious teachings) ditinjau dari spiritual-guidance context,   tumbuh di dalam dasar peradaban dan budaya religius di jaman dahulu. Ajaran keagamaan ini kemudian berkembang menjadi agama agama dunia (world religions) yang di beberapa negara ikut memberikan warna dan bimbingan moral spiritual terhadap sistem kepemimpinan sepanjang proses berkembangnya peradaban manusia.

 

Di dalam sejumlah agama ada yang dinamakan rajasuci yang juga bersifat kenabian (king prophet). Rajasuci itu di dalam agama Khonghucu (Kong Jiao 孔 教, Ru Jiao 儒 教) dikenal dengan istilah: Shengwang (圣 王). Diantaranya dalam sejarah Ru Jiao ada rajasuci: Fuxi (伏 羲), Shennong (神 农), Huang Di (黄 帝), Di Yao (帝 尧), Di Shun (帝 舜), Xia Yu (夏 禹), Shang Tang (商 汤), Wenwang (文 王), Wuwang (武 王), Zhougong (周 公). Agama Khonghucu sebelum kelahiran nabi besar Kongzi di kenal sebagai Ru Jiao.

 

Para rajasuci Ru Jiao ini menjadi teladan dan pola pengayoman bagi umat manusia selama ribuan tahun lamanya. Para rajasuci itu di jaman kemudian di sebut rajasuci terdahulu (Xian Shengwang 先 圣王) yang hidup sebelum nabi besar Kongzi, diantara 30abad sM-12abad sM.

 

Nabi besar Kongzi sendiri hidup di negeri Lu, sebuah negara-bagian dari dinasti ketiga, Zhou (Tiongkok sekarang) pada 551tahun-470tahun sM. Beliau hidup sejaman dengan sang Buddha Gautama yang lahir di kerajaan Kapilavastu wilayah India Utara (Negara Nepal sekarang).

 

Kepemimpinan di jaman diwahyukannya agama agama itu, dapat dikatakan masih dalam era kekuasaan absolut seorang raja dan ratu (king and queen), yang menjadi pemimpin bagi negerinya (state leader).   Beberapa diantara para pemimpin itu juga sekaligus selaku pemimpin keagamaan (religious leaders).

 

Dalam penulisan ini kami fokuskan pada pengaruh agama Khonghucu terhadap pola kepemimpinan yang ideal (idealistic leadership). Secara khusus di dalam ajaran keagamaan yang diajarkan agama Khonghucu terdapat lima Jalan suci kemasyarakatan (Wu Da Dao 五 达 道), meliputi:

 

1.Jun Chen  君臣= Jalan suci antara pemimpin dan pembantunya.

2.Fu Zi         父子= Jalan suci antara orangtua dan anak.

3.Fu Fu        夫妇= Jalan suci antara suami dan isteri.

4.Xiong Di   兄弟= Jalan suci antara kakak dan adik.

5.Peng You  朋友= Jalan suci antara lawan dan sahabat.

 

Dalam kitab Wujing dan Sishu (五 经 ,四 书) tertulis, bahwa untuk terjalinnya secara harmonis ke lima Jalan suci di atas, diletakkan pedoman: Tripusaka Kebajikan (san da de 三 达 德), meliputi: (1) Kebijaksanaan (zhi 智), (2) Cintakasih (ren 仁), Keberanian (yong 勇).

★ Kepemimpinan  individualistiK
Kita mengenal adanya kepemimpinan individualistik. Pola pemimpin individualistik mempunyai ciri terpusat pada kepentingan diri dan kelompoknya untuk pegambilan keputusan, kurang memperhatikan keadaan masyarakat sekitarnya.   Bahkan ada pemimpin yang bekerja melulu demi kepentingan diri-sendiri (selfish leadership), sedangkan anak buah dipekerjakan sekedar sebagai alat untuk memenuhi pencapaian prestasi dan reputasi sang pemimpin.

 

Kepemimpinan model individual-orientation ini, mungkin saja akan mencapai tujuan dan sukses bagi diri dan kelompok tertentu (yang berkelompok bersamanya), tetapi membiarkan para pembantu lainnya terengah-engah tertinggal jauh di belakang sang pemimpin yang lari melejit sendirian. Semua hasil kerja anggota kelompok-kerjanya hanya diperuntukkan semata-mata untuk kesuksesan pemimpinnya, acapkali justru sukses anak-buah diadopsi sebagai ‘sukses pribadi’ sang pemimpin.  Ini adalah sifat ego individualistic yang dikatakan oleh nabi Kongzi sebagai ‘pencuri kebajikan’. 

 

Jika dia memimpin masyarakat melalui sebuah organisasi, maka ia memperalat organisasi itu untuk membesarkan dirinya. Pemimpin macam itu sesungguhnya tidak pernah peduli akan harapan dan kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya. Jika dia pemimpin kerajaan/negeri, diapun memanfaatkan negaranya untuk kebesaran kedudukannya dan sama sekali tidak peduli akan apa yang terjadi pada rakyat negeri.

 

Pemimpin individualistik seperti itu tidak peduli atas dampak negatif dicapainya kesuksesan individual atau kelompoknya, sekalipun mengakibatkan masyarakat sekelilingnya terpuruk atau tersungkur dan menderita. Contohnya: pola kepemimpinan Julius Caesar di kerajaan Roma purba dengan perintahnya ’Berilah rakyat anggur dan sirkus’. Artinya biarkan rakyat melupakan kebutuhannya dan biarkan mereka bersenang-senang sendiri seraya membiarkan sang pemimpin berfoya-foya di singgasananya lebih lama. Pola kepemimpinan tirani semacam itu dijalankan berabad-abad.

 

Contoh lain pemerintahan tirani, antara lain dalam sejarah Tiongkok dikenal nama: raja He Kiat (Xia Jie), raja Tiu Ong (Zhouwang), raja Chin Si Ong (Qin Shi Wang) dan lain lain.   Ketiga raja terakhir ini termasuk contoh kejahatan genosida (genocide). Kejahatan semacam itu dilakukan oleh seorang pemimpin kejam yang egois, kejam dan menging kari hati-nurani serta membuat rakyat menderita. 

Genocide atau dalam bahasa Indonesia ‘genosida’ berarti: kesengajaan untuk menghabisi kelompok ras, agama atau suku. (Kejahatan Genosida; Jayadi Damanik; 2003,7).

 

Nah, bagaimanakah sebaliknya pola kepemimpinan yang ideal menurut perspektif agama Khonghucu?

★ Kepemimpinan PERSPEKTIF AGAMA KHONGHUCU
Dalam perspektif agama Khonghucu fungsi pemimpin tidak terlepas dari perlindungan Tian, Khalik pencipta kepada umat ciptaanNya (Tianmin). “Tuhan melindungi rakyat (umat ciptaanNya) di bawah, maka ada yang dijadikan pemimpin, ada yang dijadikan guru – Tian you xiamin, zuo zhi jun, zuo zhi shi  (天 佑 下民,作 之 君, 作 之 师).” (kitab Shujing V.I.I.7)

 

Paradigma kepemimpinan dalam agama Khonghucu adalah sebagaimana diajarkan oleh Zhisheng Kongzi, bahwa “……Dia menyukai apa yang disukai rakyat, dan membenci apa yang dibenci rakyat.   (min suo hao hao zhi, min suo e e zhi  民   所  好   好 之 , 民   所  恶 恶 之). (Daxue/Ajaran Besar X, 3)

 

Inilah   yang dikatakan sebagai kebahagiaan seorang pemimpin yang berwatak Junzi, karena dialah ayah bunda rakyat (le zhi Junzi, min zhi fu mu  乐  只 君 子 ,民 之 父母). Kepemimpinan Junzi dalam perspektif agama Khonghucu adalah sebuah pola kepemimpinan yang bersifat parental (min zhi fu mu), berperan sepenuhnya sebagai ayah bunda bagi seluruh rakyatnya, dia akan bersedih dan juga berbahagia bersama rakyatnya.

 

Semangat membangun bersama orang di sekitarnya merupakan pola manajemen kepe mimpinan agama Khonghucu, yang berakar pada pola membangun kebersamaan. Pola semacam itu akan mendorong setiap individu termasuk pemimpin itu sendiri untuk peduli kepada sesama dan lingkungan masyarakat sekitarnya.

★ KEPEMIMPINAN BUSINESS CONFUCIAN – RU SHANG (儒 商)
Dasar kepemimpinan bisnis Khonghucu atau Ru Shang (儒商) adalah  kepemimpinan bisnis untuk menegakkan dan mencapai sukses secara bersama-sama. Pola kepemimpinan Ru Shang dalam masyarakat Tionghoa cukup mendasar secara historis. Mereka punya filosofi membangun kepercayaan dan kebersamaan mencapai pembagian manfaat yang merata (equal profitability) dengan saling membantu antara produsen (producers), pedagang toko (store owner) dan pekerja-lapangan (sales operational) serta pelanggannya (users, consumers). Pola perdagangan mereka tidak sepenuhnya ‘socialistic’ sebaliknya bukan sepenuhnya ‘capitalistic’.

 

Faham Confucian business semacam itu dipimpin oleh pola proporsi berimbang (zhong yong zhi dao 中 庸 之 道) di semua strata, tidak ada penumpukan keuntungan pada salah satu fihak, tetapi pola business yang menguntungkan masyarakat banyak maupun pelaku produksi dan pedagangnya sekaligus. Pola ‘sama sama untung’.

 

Filosofi keuntungan yang terbagi bersama (equal profitability) itu bukan sekedar sebuah sistem pengaturan (managerial system) tetapi didukung oleh sebuah landasan meng hidupkan rasa saling percaya (trusty). Menjalankan sistem manajemen, bukan sekedar memakai hanya perangkat sistem yang mekanis (mechanic) melainkan menggunakan gaya komunikatif yang hidup (organic).

 

Pola memimpin usaha perdagangan itu mereka wariskan turun-temurun dari generasi ke generasi, sebagai ajaran emas dalam agama leluhur masyarakat Tionghoa, yang disebut Satya Tepasarira (Zhong Shu 忠 恕). Pola Satya Tepasarira itu adalah berlandas sabda Zhisheng Kongzi,

“Bila diri-sendiri ingin tegak,

hendaknya membantu orang lain tegak dan

bila diri-sendiri ingin sukses,

hendaknya membantu sesamanya sukses.”

ji yu li er li ren, ji yu da er da ren

己 欲 立  而 立 人, 己 欲 达 而 达 人 

 

(Lun Yu VI. 30)

Contoh bersejarah dapat dilihat pada kepemimpinan laksamana Cheng Ho (Zhenghe) abad ke-15 sebagai seorang pemimpin dunia timur dari Tiongkok. Di Nusantara beliau dikenal sebagai Sampokong atau San Bao Tai Jian (三 宝 太 监).

 

Laksamana Cheng Ho menjalankan pola kepemimpinan atas armada besar angkatan lautnya ke berbagai wilayah kerajaan dunia timur di Afrika, Jazirah Arabia, Asia Tenggara termasuk Indonesia. Dia membangun kebersamaan dengan rakyat negeri dimana dia bermuhibah, bertamu dan bersahabat dengan semangat ‘ukhuwah’ (kekerabatan Islami) yang selaras dengan pola kepemimpinan ‘min zhi fu mu’ (ayah bunda rakyat) menurut perspektif agama Khonghucu.

★ Kepemimpinan Sosial  Religius  Seorang  Junzi
Zhisheng Kongzi memberikan konsep kepemimpinan seorang Junzi (君子), kepemimpinan  parental leadership. Inilah yang disebut kepemimpinan seorang Junzi, kepemimpinan insan luhur budi, beriman dan berakhlak mulia.

 
 

Dalam Kitab Sanjak tertulis,

“Betapa bahagia seorang Junzi. Karena dialah ayah bunda rakyat.”

Dia menyukai apa yang disukai rakyat, dan

Membenci apa yang dibenci rakyat..

Inilah yang dikatakan sebagai ayah bunda rakyat.

诗  云 : 乐  只 君 子 , 民 之  父 母 

                           Shi  Yun:    le zhi jun zi ,  min zhi fumu

 

民  之   所   好    好  之 ,民   之   所   恶  恶  之。 

                 Min zhi suo hao hao zhi,  min  zhi  suo   e    e   zhi

 

止   之   为  民   之   父  母 

                                      zhi  zhi  wei min zhi fu. mu

 

(☀ Daxue/Ajaran Besar X, 3).

Karena itu kepemimpinan seorang Junzi itu mensifatkan kepemimpinan layaknya orangtua dalam sebuah keluarga (parental) bagi masyarakat yang dipimpinnya, sebuah kepemimpinan yang menjadikan dia adalah ayah bunda masyarakat yang dipimpinnya  (min zhi fu mu民 之 父 母). Adakah kepemimpinan yang berakar pada posisi parental

layaknya keluarga (family) mampu melenyabkan dorongan ego individual pada diri si pemimpin? 

 

Kepemimpinan individual yang cenderung egoistic akan merupakan pembanding yang boleh menggambarkan pola kepemimpinan parental untuk meminimalisir nafsu ego seorang pemimpin.

 

Lebih jauh menarik untuk kita ketahui, bahwa orang barat yang mempelajari cara pandang Confucianism (bagi mereka melalui pendekatan filosofis dibanding dengan agama). Utamanya bagaimana misalnya George De Vos memandang bedanya antara Christianity, Buddhism dan Confucianism, khususnya bagaimana manusia mampu melenyabkan sifat keakuan (egoistic) mereka dalam hubungannya dengan kelangsungan tradisi tentang keabadian.

 

Dia menyatakan, bahwa jika di dalam agama Kristen, kontinuitas tradisi memancar dari gereja dan hakikat keabadian, dan jika di dalam agama Buddha keegoan dilenyabkan ke dalam keabadian kosmis, maka dalam agama Khonghucu keegoan itu dilenyabkan (non-ego, Wu-wo 无 我) ke dalam hakikat hubungan keluarga; sebab dalam agama Khonghucu keyakinan akan perlunya melangsungkan kelestarian kehidupan melalui jalinan hubungan bakti mendoakan arwah leluhur, dan dapat dilihat sebagai tempat memahami keabadian, religius            itas sebagai bagian imani (Faith) agama Khonghucu.  < “In Christianity, the continuity of the tradition emerges from the church and the sense of eternity. In Buddhism, the ego disappears into  the cosmos. In Confucianism, the ego disappears into the family; the cult of ancestor worship provides a sense of continuity and maybe seen as the seat of the sacred, or religious, element of Confucianism.” >

 

Pola kepemimpinan seorang Junzi dalam agama Khonghucu inipun dapat difahami melalui seorang tokoh Taois yang memiliki pemahaman yang lebih dekat terhadap nilai internal dan eksternalnya. Dia adalah Zhuangzi, yang oleh beberapa literatur dikatakan sebagai penerus atau pengikut dari Laozi (老 子) yang dipercaya mewariskan penulisan kitab Tao Te Ching (Dao De Jing 道 德 经). Bahkan Laozi juga dipercaya pernah bertemu dengan Zhisheng Kongzi bersama dua orang muridnya.

 

Zhuangzi seorang cendekiawan Dao (道 士) menilai kepemimpinan dalam ajaran Khonghucu sebagai fungsional kepemimpinan yang secara internal menunjukkan kearifan seorang nabi (nei sheng (内 圣 ) dan eksternal membawakan kearifan seorang raja (wai wang 外 王).

 

Zhuangzi menilai perspektif kepemimpinan dalam ajaran Zhisheng Kongzi menunjuk aspek internal (nei 内) dan external (wai 外). Secara internal mensifatkan ketulusan, kemuliaan karakter Sheng (圣), kearifan seorang nabi. Secara external mensifatkan kekuatan menggerakkan, mengendalikan bercirikan karakter Wang (王), ketegasan seorang raja. Inilah yang disebut Zhuangzi tentang kepemimpinan perspektif Khonghucu: Nei Sheng, Wai Wang (内 圣  外 王).

★ KESIMPULAN
          Sebagai kesimpulan, adapun untuk menerapkan pola kepemimpinan “Nei Sheng, Wai Wang” terdapat di dalam 4 kitab suci yang pokok (Si Shu 四 书) berdasar sabda sabda Zhisheng Kongzi yang dicatat oleh cucu maupun para murid  beliau.

 

            Pertama, bersumber pada nilai ketulusan iman (Cheng xin 诚 信) dalam ajaran Zhisheng Kongzi. “Iman itu tidak hanya menyempurnakan diri-sendiri, tetapi juga menyempurnakan segenap wujud. Cintakasih (ren 仁) itulah untuk menyempurnakan diri, kebijaksanaan (zhi智) itulah untuk menyempurnakan segenap wujud.”

 

            Sebagaimana diungkapkan oleh Zhuangzi tadi, maka dalam perspektif agama Khonghucu posisi seorang pemimpin itu punya landasan tanggung-jawab secara internal dan external. Internal berlandaskan tanggung-jawab yang ikhlas berkurban penuh cintakasih (仁). External tegas menanggung-jawabi perjuangan bersama anak-buah dengan penuh bijaksana (智). Pemimpin tidak hanya menyempurnakan prestasi dan reputasi pribadi (individual-succeed) tapi menjadi seorang yang mampu meneladani, mengayomi prestasi dan reputasi anggota tim (success in togetherness).

 

Kearifan seorang pucuk pimpinan adalah bahwa seorang pemimpin itu seyogyanya mampu memiliki kepekaan membaca perasaan dan selalu memmpertimbangkan dampak kepemimpinannya itu bagi sesama hidup yang lain.

“Apa yang tidak kita inginkan,

janganlah dilakukan terhadap orang lain”

 

ji suo bu yu, wu shi yu ren 

己  所 不 欲 ,勿 施  於 人 

 

(Lun Yu XII: 2).

Seorang pemimpin pertama-tama memang wajib memberdayakan diri-sendiri dan lingkungan kerjanya terlebih-dahulu. Dalam perspektif agama Khonghucu hal ini disebut tahap awal Jalan Suci atau ‘tahap menggemilangkan kebajikan sendiri’ (zai ming mingde 在 明 明 德). Namun demikian masih ada dua tahapan Jalan Suci yang menjadi tanggung-jawab moril seorang pemimpin, yaitu terhadap lingkungan hidup sekitar dan nilai kebersamaan hidup yang jauh lebih luas.

 

 

 

 

 

Ajaran Besar (Daxue 大 学) selain mengajarkan perlunya tahap Jalan Suci pertama di atas (zai ming mingde 在 明 明 德), juga mengajarkan sebuah sistem kepemimpinan yang menembus batasan prestasi, reputasi dan kepentingan ego-kelompoknya.

 

Seorang pemimpin harus menembus batas kepentingan ego-kelompoknya dan  melanjutkannya dengan tahap Jalan Suci kedua, yaitu menanggung-jawabi secara sosial-religius dan kepentingan sesama hidup lainnya (zai qin min 在 亲 民).

 

Bahkan setelah Jalan Suci tahap kedua itu wajib pula diabdikan pada tahap ketiga sebagai spiritual-responsibility   ‘menuju puncak kebaikan’  (zai zhi yu zhi shan  在 止 於 至 善).

Seorang pemimpin, bukan sekedar bertanggung-jawab bagi kelompok-kerjanya sendiri, atau orang orang yang mau mengikuti pola kerjanya saja, tetapi wajib menjadi teladan bagi seluruh anggota kelompok-kerjanya (staff organisasi, anggota Dewan, menteri kabinet) untuk mengabdi dan melayani, mengayomi, menyejahterakan, menegakkan keadilan sosial-religius bagi segenap konstituen, masyarakat luas atau bangsanya.

 

Di jaman modern ini sejumlah tokoh cendekiawan agama Khonghucu di berbagai negara juga memberikan pandangannya tentang masalah kualitas manusia, termasuk para pemimpin.   Bagi seorang pemimpin dalam perspektif Khonghucu,  sikap Cintakasih (ren 人) merupakan suatu bentuk tanggung-jawab kepada masyarakat (one’s responsibility to the society).

 

Siapapun termasuk seorang pemimpin masyarakat melalui pemahaman dan penerapan pembinaan diri dalam ajaran agama Khonghucu akan mampu menjadi seorang pemimpin yang berperi-cintakasih (humanist-leader). Prof.Tu Wei-ming, di dalam salah sebuah pemaparan kuliahnya di universitas Korea menegaskan tentang perikemanusiaan / cintakasih (ren 人) sebagai fokus pendidikan keagamaan Khonghucu. “Confucian learning, as “learning for the sake of the self,” is more than the acquisition of knowledge or the internalization of skills;   it is primarily character building.

 

Karakter kepemimpinan juga dibentuk melalui suatu pendidikan yang terpadu, yang jika kita kaji bagaimana nabi besar Kongzi mengajar murid-murid Ru dalam enam disiplin ilmu: ibadah, seni musik, seni memanah, seni mengendarai kereta, seni kaligrafi, dan seni hitung/eksakta.   Dr.Tu Wei-ming sebagai education expert mengungkap sebagai-berikut, “Although the martial spirit is incorporated in the mastery of the six arts (ritual, music, archery, charioteering, calligraphy, and arithmetic), the focus of Confucian education is the cultivation of humanity (ren).

 

Prof.Tu juga berbicara tentang pentingnya memahami perlunya memperbaiki perspektif humanitas (ren 人) itu dengan menempatkan sesama kita bukan sebagai obyek, melainkan mencoba memancarkan semangat berkomunikasi dalam jarak yang pantas sebagai bagian integral sebuah komunikasi antara kita dengan sesama dalam posisi subyek berkomunikasi dengan sesama subyek.  Diungkapkan pula, ‘Ideally, in the inclusive humanistic perspective, no human being is treated as an object; indeed nothing is outside the orbit of human concern.

 

Prof.Yu Dan, seorang dosen yang sedang populer di kalangan akademik di China maupun dunia internasional, menjawab (sejumlah penanya) dengan menegaskan sebuah pesan pentingnya mengambil makna yang jernih dari ajaran ‘lama’ di dalam kitab Sabda Suci (the Analects/Lun Yu 论 语). Ajaran keagamaan Khonghucu akan mengangkat pembicaraan perihal sebuah masyarakat yang harmonis, baik melalui  melatih bersikap memahami sesama (exercising tolerance of others) ataupun menjaga suasana mental kita selalu berada dalam sikap ‘seimbang’ (zhong 中) sehingga segala sesuatu menjadi ‘harmonis’ (he 和).

 

“The host asked her whether The Analects was required reading for a harmonious society, and Yu Dan responded, "Actually, The Analects are quite mainstream; that is, many things in The Analects are ideas brought up by our harmonious society today.".....Looking through relevant explanations in her Insights, perhaps we can find an awakening.   Yu Dan says, "China has always seen harmony as beautiful. And what is true harmony? Exercising tolerance of others, blending together while sustaining different voices and differences of opinion" (p 62); "The mental state of the doctrine of the mean is everything situated in harmony. This harmony is when all heaven and earth is in its place (p 110)”

 

Akhirnya fungsi kepemimpinan dalam perspektif Khonghucu tidak lepas dari kemampuan menata kehidupan pribadi, sosial religius, meliputi lima Jalan Suci Kemasyarakatan: pemimpin dan yang dipimpin, orangtua dan anak, suami isteri, kakak dan adik serta kawan dan sahabat. Untuk terjalin harmonisnya kelima hubungan tersebut, pedoman yang diberikan dalam agama Khonghucu adalah tiga kebajikan, yaitu:

TRIPUSAKA – THREE VIRTUES

三 达 德

San Da De

  Kebijaksanaan – wisdom.



Zhi

 Cintakasih – benevolence.



Ren

Keberanian – courage.



Yong.

★Perspektif Jun Zi ☀ By: Xs. Buanadjaja B.S. Dewan Rohaniwan MATAKIN ☆Sumber: www.matakin.or.id ☀Diposkan oleh: Yoky Confucius

||[.::Index::.]||[..::Profile::..]||[.::Contact::.]||
✧Confucius Youth Generation's✧