Well✧Come
四 海 之 內,皆 兄 弟 也.
"Si Hai Zhi Nei, Jie Xiong Di Ye."
"Di Empat Penjuru Lautan, Semua Saudara."
☀ Confucius (LunYU.XII:5)

Sheng-ren
2024-04-27 23:50
Kumpulan Sanjak-sanjak Puisi & kisah-kisah kebajikan

☀ Makna Simbolis Beberapa Sajian dalam persembahyangan Agama Khonghucu

 Makna Simbolis Beberapa Sajian dalam persembahyangan Agama Khonghucu*

Written by XS. TJANDRA R. MULJADI 
 Pendahuluan 
 Meskipun masih banyak orang yang menggunakan sesajen dalam suatu persembahyangan, tetapi mungkin tidak banyak yang menaruh peduli tentang makna/arti dari sesajen itu. Sesajen, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sajian (makanan, bunga, dsb., yang disajikan untuk oranghalus, dsb.) Sementara itu, sembahyang terdiri dari dua kosa kata, yakni sembah dan yang. Dalam KBBI, sembah berarti pernyataan hormat dan khidmat (dinyatakan dengan menangkupkan kedua belah tangan, yang dikatakan juga menyusun jari sepuluh, lalu diangkat ke atas hingga ke bawah dagu, dan juga hingga ke atas dahi, atau menyentuhkan jari ke hidung atau ke dahi). Sedangkan yang (yang yang) berarti dewa. Atau dapat diartikan juga sebagai ‘yang suci’. Dan kata sembahyang itu sendiri berarti ‘salat’, permohonan (do’a) kepada Tuhan. Bersembahyang berarti melakukan sembahyang; berdo’a memohon kepada Tuhan; upacara selamatan untuk menghormati (memuliakan) para leluhur, dsb. Persembahyangan berarti upacara sembahyang. 
 Dengan mengetahui arti kata sembahyang itu, maka dapat dimaklumi bahwasanya bersembahyang merupakan suatu kewajiban untuk dilaksanakan oleh umat beragama. Bersembahyang bukan untuk menyumpahi seseorang agar orang yang tidak disukai itu hidup menderita, atau usaha dagangnya bangkrut. Bersembahyang bukan pula bertujuan agar memenangkan undian dan mendapatkan hadiah dari tabungannya di suatu Bank. 
Bersembahyang juga bukan untuk dipertontonkan seperti ingin memperlihatkan kemahirannya dalam permainan sulap, dan lain sebagainya. Memang keunikan mewarnai persembahyangan yang dilakukan di kalangan sebagian masyarakat Tionghoa karena unsur tradisi dengan latar belakang budaya yang beragam dari suku-suku Hakka, Hokkian, Shantung, Teociu, Kongfu. Hinghua, Hokcia, dan lain-lain, turut mengentalkan keragaman kelengkapan (sarana dan prasarana) dalam suatu persembahyangan. Bukan hanya sesajen yang sudah berbaur dalam kehidupan sebagian masyarakat Tionghoa peranakan akibat pengaruh budaya masyarakat setempat, tetapi juga kebiasaan atau kepercayaan dan pola hidup yang berlainan di lingkungan masyarakat Tionghoa totok, sehingga kedua faktor itu mencuatkan perbedaan dan keunikan dalam persembahyangan di kalangan masyarakat Tionghoa yang tidak jarang menimbulkan kebingungan di kalangan generasi muda. Simbolis Dalam tabloid “Bintang” edisi minggu keempat, Maret 1994, antara lain disebutkan bahwa kehidupan masyarakat Cina tidak lepas dari simbol-simbol. Benda mati maupun benda hidup bisa dijadikan simbol. Memang benar. 
Sebagai contoh, dalam upacara (tradisionil) pernikahan yang dikenal dengan sebutan Cio Tauw itu, terdapat ‘timbangan atau dacin’ yang bermakna agar dalam kehidupan keluarga, suami isteri hendaknya berlaku adil dalam tugas dan kewajiban. Mengambil suatu keputusan hendaknya tidak ragu-ragu atau tidak diliputi dengan kebimbangan yang dilambangkan dengan ‘pedang atau pokiam’. Apabila timbul kerumitan segera dirapikan yang dilambangkan dengan ‘sisir’. Dan selalu bekerjasama secara harmonis yang dilambangkan dengan ‘gunting’ yang bermata dua itu. Tidak melampaui batas kemampuan seperti yang dilambangkan dengan ‘gantang’ yang berbentuk tabung. Rajin-rajin belajar yang dilambangkan dengan ‘tung shu atau buku pintar’ dalam mana terdapat ajaran jin put hak put tie gie/ren bu xue bu zhi yi (manusia tidak belajar, tidak memahami kebenaran) ajaran ini dikutib dari kitab Trikata (Sam Chi Keng/San Zi Jing). 
Dalam percakapan antara Pangeran Ai dari negeri Lo dengan Nabi Khong Cu yang bertanya tentang pemerintahan, Nabi Khong Cu antara lain mengemukakan “Banyak-banyak belajar, pandai-pandai bertanya, hati-hati memikirkannya, jelas-jelas mengurai, dan sungguh-sungguh melaksanakannya.” (Lun Gi/Lun Yu XIX:19) Dengan mengetahui fungsi (kegunaan suatu hal) dari lambang-lambang itu dapat dihindari pemahaman yang keliru. Seorang pendeta bernama Dr. Caleb So, dosen dari Chinese Religion pada Trinity Theological College, Singapura, ketika ditanya oleh Andreas Himawan dari “Nafiri” (sebuah majalah Kristen, edisi Jan-Feb 1995) tentang “Orang Tionghoa sangat percaya pada dewa dewi, sebenarnya bagaimana perkembangan kepercayaan ketuhanan mereka?” Pendeta itu menjawab: “Di dalam kepercayaan orang Tionghoa yang sangat kuno, mereka sudah percaya adanya Heaven, Tian atau Surga, atau Tuhan atau Ti yang dianggap sebagai Raja Tertinggi. Sudah ada kepercayaan semacam ini, Heaven bukan maksudnya langit yang bisa kita lihat, tapi adalah ‘sesuatu yang tertinggi’. Tapi yang tertinggi itu, siapa? Hal itu kurang jelas di dalam kepercayaan orang kuno, tetapi kalau kita membaca buku-buku yang berisi cerita-cerita kuno, kita melihat ada kepercayaan seperti ini. Tapi keperceyaan ini di kemudian hari tidak dikembangkan. Waktu itu masih belum ada Taoisme atau Konfusianisme atau Budha. Kepercayaan itu bisa dikatakan sangat kuno. Jadi mereka percaya adanya Tuhan yang universal.” Pandangan Dr, Caleb So, yang dosen itu, bukan saja membantah tudingan dari kalangan tertentu yang beranggapan bahwa orang Tionghoa tidak ber-Tuhan, tetapi sekaligus mengukuhkan kebenaran akan keimanan orang Tionghoa terhadap Khalik (Yang menciptakan, yakni Allah) yang secara umum orang Tionghoa menyebutNya sebagai Thian, ada pula yang menyebut dengan Thi Kong. Dan dalam agama Khonghucu dikenal pula sebutan Hong Thian/Huang Tian (Tuhan Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa, - Su Keng/Shu Jing II.II.I:4 & IV.VI.II:4), Siang Tee/Shang Di (Khalik semesta alam, Yang Maha Tinggi, Su Keng V.XXIII.II.:4 & Tiong Yong/Zhong Yong XVIII:6). 
 REPLIKA RUMAH Sebagian masyarakat Tionghoa melakukan pembakaran rumah-rumahan, ada yang melengkapi dengan fasilitas replika perabot rumah tangga, televisi, mobil disertai dengan pembantu rumah tangga, dalam upacara duka dan/atau melepas masa perkabungan. Konon agar yang meninggal dunia itu, ‘di alam sana’ memiliki fasilitas seperti yang dimilikinya ketika masih berada di alam fana. Kepercayaan tersebut mengundang pendapat yang berbeda. Terlepas dari pendapat yang pro, kontra, dan yang mencemo’oh, Almarhum Sukri Muljadi terlahir Lie Sie Kay, yang menjadi Biokong pada Bio “Hok Tek Ceng Sin” Tanah Abang, yang juga salah seorang pendiri MAKIN Tanah Abang (Jakarta Pusat), pernah bertutur bahwasanya kepercayaan membakar rumah-rumahan itu bukan sebagai bagian dari ajaran dalam agama Khonghucu. Itu cuma tradisi yang berawal dari suatu keluarga sederhana. Salah seorang anak dalam keluarga tersebut sangat ingin memberikan sebuah rumah lengkap dengan fasilitasnya. Namun hingga kedua orangtuanya meninggal dunia, dia belum mampu mewujudkan keinginannya itu. Beberapa tahun kemudian kondisi sosial ekonomi anak itu meningkat, dan dia tidak pernah melupakan keinginannya itu. Setelah mendapatkan petunjuk dari para kerabat dan sahabatnya, maka dia membuat replika rumah dengan segala fasilitasnya dari batang bambu yang diraut sebagai kerangka lalu ditempelkan kertas yang diberi warna-warni. Setelah selesai, disiapkan persembahyangan.Usai sembahyang replika tersebut dibakar. Menurut Alm. Lie Sie Kay, sepintas kilas yang dilakukan oleh anak itu terkait dengan Laku Bakti yang merupakan bagian dari Delapan Kebajikan (Pat Tek/Ba De) dalam ajaran agama Khonghucu yang wajib diamalkan dalam kehidupan ini. Akan tetapi jika dicermati replika rumah yang disertai dengan replika pembantu rumah tangga itu tidak selaras dengan sabda Nabi Khong Cu :”Aku benci hal-hal yang mirip tetapi palsu…..” (Beng Cu/Meng Zi VII-B: 37,11). Dan Tiong Ni pernah bersabda: ‘Orang yang pertama mengajar membuat patung untuk dikubur bersama jenazah, putus turunankah dia?!’ Ini baru boneka saja yang ikut dikubur sudah sangat dibenci Nabi …..(Beng Cu I-B: 4,6). 
 Dalam “Hakekat Laku Bakti” dinyatakan, bahwa menyiapkan daging sedap dan beras yang ditanak lalu dicicipi dan dihidangkan kepada orangtua, itu bukan berbakti, itu hanya merawatnya. Yang dimaksud Laku Bakti seorang Kuncu ialah perilaku yang dipuji orang senegeri dengan seruan ‘sungguh bahagia orangtua mempunyai anak sedemikian itu’. Demikianlah yang dimaksud dengan laku bakti itu. Laku Bakti itu ialah pokok ajaran Agama. Pelaksanaan bakti itu nampak dalam hal merawat. Orang mungkin dapat memberi perawatan, tetapi adanya rasa hormat, itulah yang sukar. Orang mungkin dapat menghormat, tetapi kemampuan memberi ketenteraman, itulah yang sukar. Orang mungkin dapat memberi ketenteraman, tetapi untuk mewujudkan hingga akhir hayat, itulah yang sukar. Setelah ayah bunda meninggal dunia, jika orang secara hati-hati mengamati perilakunya sehingga tidak mengundang nama buruk bagi ayah bunda, dia boleh disebut mampu menggenapkan. …..(Hauw Keng/Xiao Jing, hal. 51. – Lee Ki/Li Ji XXI:11). 
Nabi Khong Cu bersabda: “Terhadap orang yang sudah meninggal dunia jika memperlakukannya benar-benar sama sekali sudah mati, itu tidak berperi Cinta Kasih maka jangan dilakukan. Terhadap orang yang sudah meninggal dunia jika memperlakukannya benar-benar seperti masih hidup, itu tidak Bijaksana, dan jangan dikerjakan …..” (Lee Ki II.A.III.3) Dari ayat-ayat tersebut dapat dimaklumi bahwasanya Bakti seorang anak tidak hanya ditentukan oleh materi yang dia mampu berikan kepada ayah bundanya, tetapi yang utama adalah perilaku luhur yang dia lakukan, yang dilandasi dengan ketulusan hati hingga akhir hayatnya, terhadap orangtuanya. Sajian Sebagai Persembahan Bakti Dalam kitab Lee Kie/Li Ji XXI tentang Makna Sembahyang antara lain tertulis bahwa seorang Kuncu/Junzi (Insan kamil) saat hidup orangtuanya dirawat dengan penuh hormat, setelah meninggal dunia disembahyangi dengan penuh hormat pula. Dan sepanjang hidupnya dipikirkan agar tidak melakukan perbuatan yang memalukan. ..(I:5) Hanya yang berkesucian sebagai Nabi dapat menyampaikan persembahan kepada Ti/Di (Tuhan, Khalik semesta alam). Dan hanya seorang anak berbakti dapat menyampaikan persembahan kepada orangtuanya. Menyampaikan persembahan berarti menunjukkan diri (kepada yang disujudi). Dengan menunjukkan diri barulah persembahan itu dapat diterima. …..(I : 6). Kepada Bing I-cu yang bertanya tentang Laku Bakti, Nabi Khong Cu menyatakan “Jangan melanggar!”. Ketika Hwan Thi meminta penjelasan, Nabi menegaskan “Pada saat hidup layanilah sesuai dengan Kesusilaan, ketika meninggal dunia, makamkanlah dengan Kesusilaan, dan sembahyangilah sesuai dengan Kesusilaan.” (Lun Gie II:5). Mengapa ditekankan tentang Kesusilaan, karena jika melakukan hormat tanpa tertib Kesusilaan akan membuat orang repot. Berhati-hati tanpa tertib Kesusilaan akan membuat orang diliputi ketakutan. Berani tanpa tertib Kesusilaanakan membuat orang suka melakukan kekacauan. Jujur tanpa tertib Kesusilaan akan membuat orang melakukan kekasaran. (Lun Gie VIII:2). 
 Mempersembahkan sajian kepada orangtua yang meninggal dunia bukan bertujuan untuk memberi makan, sebagaimana terungkap dalam kitab Lee Ki II-B (Tan Gong) Bagian II.2:8, ….Saat akan diselenggarakan pemakaman, dikirim barang-barang untuk sajian (di kuburan). Setelah dimakamkan, disajikan makanan (untuk upacara penyemayaman itu). Orang yang mati itu tidak ikut makan, tetapi dari jaman yang paling kuno hingga sekarang hal itu tidak pernah dialpakan. Terkait dengan itu, Nabi Khong Cu bersabda: “Biarpun hanya sayur kacang dan air tawar kalau dapat membahagiakan orang tua, itu sudah dapat disebut berbakti. Biar seorang anak hanya dapat membungkus badan hingga kaki orangtuanya yang meninggal dunia lalu memakamkannya tanpa peti mati luar (Guo), dia sudah boleh dinamai melakukan kewajiban Susilanya.” (Lee Ki II.B.II.16) 
 Makna Luhur Dalam Sajian Diantara sajian yang dipersembahkan dalam persembahyangan, merupakan simbolis (sebagai lambang) yang mengandung nilai-nilai luhur atau petuah dari leluhur yang masa lalu tidak dipaparkan secara nyata, seperti yang dijelaskan oleh Nabi Khong Cu bahwa penyebab orang jaman dahulu merasa sukar mengucapkan kata-kata ialah karena merasa malu kalau tidak dapat melaksanakannya. (Lun Gie IV:22) Mengapa demikian? Karena apa yang diharapkan dari anaknya belum dapat dilakukan terhadap orangtuanya, yang diharapkan dari menterinya belum dapat dilakukan terhadap rajanya, yang diharapkan dari adiknya belum dapat dilakukan terhadap kakaknya, yang di harapkan dari temannya belum dapat dilakukannya lebih dahulu. Maka dalam berkata-kata selalu ingat akan perbuatan, dan dalam berbuat selalu ingat terhadap kata-kata. (Tiong Yong XII:4). 
 Sajian yang kerapkali terlihat dalam upacara duka yakni tiga jenis hewan terdiri dari babi, ayam dan ikan bandeng, yang dikenal dengan sebutan Sam Seng/San Sheng atau dari bunyi kata dapat diartikan sebagai Kehidupan Tiga (alam). 
Ketiga jenis hewan tersebut mewakili kehidupan di darat (babi), kehidupan di air (ikan bandeng) dan kehidupan di udara (ayam, yang tergolong unggas). Kehidupan di tiga alam menyiratkan agar di manapun berada seseorang harus dapat menyesuaikan diri dengan alam lingkungannya sehingga dia mampu bertahan untuk melangsungkan hidupnya, seperti yang diisyaratkan dalam kitab Tiong Yong XIII: 1-2 bahwasanya seorang Kuncu berbuat sesuai dengan kedudukannya ……di kala berdiam di antara suku Ie dan Tek, dia berbuat sebagaimana layaknya suku Ie dan Tek ... Kini kita simak kandungan makna dari sajian yang disebut Sam Seng itu: Babi hewan ternak yang jika dikembangbiakan dengan baik akan mendatangkan keuntungan besar bagi si peternak. Namun hewan ini terkenal jorok dan rakus. Dari jenis hewan ini dapat diperoleh petunjuk bahwasanya jika ingin mendapatkan atau meraih keuntungan, hendaknya pandai-pandai memilah jenis usaha dan diperlukan kemampuan untuk mengelola usaha itu. 
Diingatkan pula agar dalam mengarungi perjalanan, singkirkanlah kerakusan atau keserakahan/ketamakan dan hidup bersih, bersih diri, bersih hati, tidak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang diinginkan. Dalam hal bersih hati, diingatkan oleh Nabi dalam kitab Tiong Yong XV:3 bahwa umat manusia di dunia berpuasa, membersihkan hati dan mengenakan pakaian lengkap bersembahyang sujud kepada-Nya. Sungguh maha besar Dia terasakan di atas, di kanan dan di kiri kita. Dan dalam hal tidak menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan dan/atau kekayaan, dinyatakan dalam kitab Thay Hak/Da Xue X:10 bahwa kekayaan yang diperoleh secara tidak halal akan habis tidak keruan. Ditegaskan pula oleh Nabi, bahwa harta dan kekayaan yang tidak berlandaskan kebenaran, bagiku laksana awan yang berlalu saja (Lun Gie VII:16). Dan dalam Lun Gie IV:5, Nabi bersabda: “Kaya dan berkedudukan mulia ialah keinginan setiap orang tetapi jika tidak dapat dicapai melalui Jalan Suci, jangan ditempati. Miskin dan berkedudukan rendah ialah kebencian setiap orang tetapi jika tidak dapat disingkirkan melalui Jalan Suci, jangan ditinggalkan. 
 Ayam, meski hidup di darat tetapi termasuk golongan unggas (burung). Betinanya sangat setia mengerami telur-telurnya. Hanya sejenak meninggalkan telur-telur yang dieraminya itu untuk mencari makan dan minum. Saat telur-telur menetas, anak-anaknya dibimbing untuk mencari makan. Sang induk berkotek memanggil anak-anaknya bila makanan ditemukan. Anak-anaknya didekap dalam tubuhnya jika ada yang mengganggu, begitu juga bila senja tiba anak-anaknya berlindung dalam dekapan induknya. Bila tiba saatnya, sang induk menyapi anak-anaknya, dibiarkan untuk mencari makan sendiri. Kehidupan jenis hewan yang satu ini agaknya mengilhami para pakar bahasa, sehingga tercipta sebuah peri-bahasa yang berbunyi ‘Bagaikan anak ayam kehilangan induknya’. 
Sedangkan ayam jantan pada dini hari sudah berkokok menyambut fajar menyingsing, dan mencari makan sambil berlagak di antara betina-betina untuk dikawini. Tidak jarang, jantan yang dianggap baik dijadikan ‘alat’ untuk bertaruh melalui penyabungan. Dari jenis hewan ini, dapat disimak peran seorang ibu yang dengan penuh satya dan kasih sayang mengasuh anak-anaknya hingga anak itu dapat hidup secara mandiri tanpa peduli pada diri sendiri. Selain itu, tersirat suatu upaya yang tidak mengenal lelah dan tekun mencari nafkah sejak dini hingga senja hari. Namun dari jantannya, hendaknya tidak ‘hinggap’ dari satu betina ke betina lain. Juga tidak mudah dijadikan ‘alat’ apalagi dengan cara disabung yang mendatangkan keuntungan bagi orang lain. Kesetiaan dan kasih sayang yang terpancar dari kehidupan induk ayam itu, mengingatkan kita pada “Kisah Tiga Ibunda Agung” yakni ibunda Beng Cu/Meng Zi/Mencius yang berhasil mengasuh Beng Cu (371-289 SM) sehingga terkenal sebagai seorang Penegak agama Khonghucu. Sedangkan ibunda Auwyang Siu yang hidup pada jaman dinasti Song (960-1279 M) telah berhasil menjadikan Auwyang Siu/Ouyang Xiu (1007-1072 M) sebagai sastrawan dan penulis sejarah terkemuka. Dan ibunda Gak Hwie yang membentuk Gak Hwie/Yue Fei (1103-1142 M) sebagai pahlawan bangsa yang disanjung berjuta-juta pengagumnya karena kepatriotikannya. Last but not least, bunda Gan Tien Cay yang mampu membimbing Putera Sari Air Suci, Raja Tanpa Mahkota, yang dikaruniakan HongThian kepada beliau sebagai anaknya yang diberi nama Khong Khiu alias Tiong Nie itu, menjadi seseorang yang ‘namanya bergema meluas meliputi Negeri Tengah, terberita hingga ke wilayah Ban dan Bek’, bahkan menembus ruang dan waktu, dikagumi oleh para misionaris Barat yang memanggilnya dengan nama Confucius. 
 Ikan Bandeng yang saat kecil disebut Nener, hidupnya bergerombol, tidak menyendiri. Daging ikan ini yang dikenal halus dan lembut serta lezat rasanya, amat disuka. Akan tetapi kalau tidak berhati-hati saat menikmati, duri-duri halus yang bercagak yang tersembunyi di dalam daging yang halus dan lembut itu, akan tertelan dan melekat di kerongkongan sehingga perlu berhubungan dengan dokter untuk mengangkat duri bercagak yang melekat itu. Kehalusan dan kelembutan dari daging ikan yang satu ini, menyiratkan kehalusan budi pekerti seseorang yang dapat menarik simpati dan kepercayaan orang banyak. Namun duri halus yang bercagak yang terdapat dalam daging yang lembut dan halus itu, mengingatkan agar tetap waspada, sebab seorang yang berkebajikan niscaya dapat berbicara baik tapi yang dapat berbicara baik belum tentu berkebajikan (Lun Gie XIV:4). Dan dalam hal kehidupan perlu bermasyarakat, apalagi dalam upaya tegak di Jalan Suci, tidak boleh hidup menyendiri atau eksklusif, seperti yang diutarakan oleh Nabi bahwa Jalan Suci itu tidak jauh dari manusia, jika orang memaksudkan Jalan Suci itu ialah hal yang menjauhi manusia, itu bukan Jalan Suci (Tiong Yong XII:1) 
 Empat Jenis Penganan. Berdasarkan petunjuk yang terdapat dalam kitab Tiong Yong XVIII:3,umat Khonghucu Indonesia dalam persembahyangan berusaha memper- sembahkan sajian sesuai dengan musim yang tengah berjalan. Saat tiba musim Semi, tepatnya ketika pergantian tahun tiba (Tahun Baru/Sinchia) sajian sebagai persembahan bakti adalah Nien Kao/Nian Gao atau ada yang menyebutnya 
Tie Kue (Kuwe Keranjang). Penganan ini umumnya dibuat bersusun, kian tinggi kian mengecil bentuknya yang bulat agak pipih itu dibungkus dengan daun pisang. Biasanya bersusun tiga hingga sembilan dihiasi dengan kertas warna merah. Sesuai dengan bunyi kata Nien yang berarti tahun dan Kao berarti tinggi maka terkandung harapan agar dari tahun ke tahun kondisi sosial kian meninggi (bertambah baik). Jenis kuwe ini tahan hingga usai Cap Go Meh, yang menyiratkan agar kita perlu memiliki daya tahan dalam mengarungi perjalanan hidup ini, utamanya untuk mencapai kondisi sosial yang lebih baik. Sedangkan daun pisang, mengingatkan kita bahwasanya pohon pisang hanya satu kali berbuah, demikian pula dengan hidup kita yang hanya satu kali, maka jangan menyia-nyiakan waktu yang terus bergulir, ditandai dengan beredarnya musim dan pergantian tahun dalam mana usia kian meningkat yang berarti liang lahat semakin dekat. 
 Tibanya musim Panas, penganan yang khas ialah Kue Cang atau Ba Cang. Penganan yang disebut lebih dahulu, dibuat dari beras ketan diolah dengan air abu, dan yang disebut kemudian dibuat dari beras yang setelah menjadi aron diberi isi daging yang dicingcang yang sudah diolah dengan campuran bumbu. Bentuk penganan ini bersudut empat dibungkus dengan daun bambu. Dari bentuk itu menyiratkan Empat Pilar ajaran Nabi, yakni Bun (Pengetahuan kitab, sastra, budaya), Heng (Perilaku/perbuatan), Tiong (Satya, loyalitas, pengabdian), dan Sien (Dapat Dipercaya). – lihat: Lun Gie VII:25) Daun bambu sebagai pembungkusnya, menyiratkan agar dalam persembahyangan di bulan Go Gwee (pada pertengahan musim Panas) yang disebut Twan Yang, hendaknya hati kita lurus kepada Dia, Sang Khalik, seperti lurusnya batang bambu yang menjulang tinggi, dan memiliki mental yang kokoh seperti halnya batang bambu yang tidak mudah patah itu.
 Ketika memasuki musim Rontok, Tiong Chiu Pia (kuwe Bulan) menjadi penganan utama yang tersaji di altar persembahyangan. Kuwe yang dibuat dari tepung terigu yang berbentuk bulat pipih seperti bulan itu, diberi isi ber-macam-macam, seperti coklat, keju, durian, biji jambu, cempedak, wijen, dan lain-lain. Penganan ini, ketika dinasti Ming (1368 – 1644 M) kala kaisar Jia Jing (1530 M), tersaji pada altar sembahyang dalam sebuah bangunan yang khusus dibangun, dan diberi nama Yue Tan (Altar Bulan). Juga ketika dinasti Qing (1644 – 1911 M), Ibusuri Ci Xi memimpin upacara di Istana Musim Panas di ruang Pai Yun sebagai puncak acara dalam menyambut Zhong Qiu Jie (hari raya Tiong Chiu). Konon saat tanggal 15 bulan kedelapan Imlek itu Bulan mencapai bentuknya yang paling sempurna. Bentuk bulat itu menyiratkan kesatuan yang utuh seperti perjuangan Tju Goan Tjiang yang menumbangkan kekuasaan dinasti Gwan lalu mendirikan ahala Beng (Beng Tiau). Dalam perjuangannya itu, para pendukung Tju, memasukkan surat edaran ke dalam kuwe yang berbentuk bulat. Surat itu menentukan waktu dan menyerukan untuk secara serentak melakukan serangan ke pihak lawan. Persatuan kesatuan seperti itu yang dimaksud oleh Beng Cu bahwasanya kesempatan tidak sebanding dengan keuntungan keadaan tempat (geografis), dan kondisi geografis tidak sebanding dengan persatuan orang (II-B:1). 
 Puncak musim Dingin yang tiba di penghujung tahun atau yang populer disebut Tang Che/Dong Ji, penganan yang khas tersaji pada altar sembahyang ialah Onde atau ada yang menyebutnya Ronde, bentuknya bulat mirip telur cecak hanya agak lebih besar, terbuat dari beras ketan. Dalam persembahyangan di altar Nabi Khong Cu , lazimnya berwarna merah dan putih yang menyiratkan unsur Im/Yin dan unsur Yang, dua unsur yang selalu meliputi kehidupan, seperti perempuan dengan laki-laki, jasmani dengan rohani, lahir dengan batin, hantu dengan Tuhan, dan seterusnya, dan seterusnya. Bulatnya Onde mengisyaratkan kebulatan tekad atau tekad beriman dalam upaya membina diri (Thay Hak U:5). Dalam persembahyangan umum, selain kedua warna tersebut, ditambah pula dengan warna-warna hijau, kuning, dan biru, yang melambangkan Ngo Heng/Wu Xing (Lima Unsur) yakni merah (api), putih (logam), hijau (kayu), kuning (tanah), biru (air). Kelima unsur tersebut merupakan bagian dari Sembilan Pokok Bahasan (Su Keng/Shu Jing V.IV.I.II:4 Bag. Hong Wan Kiu Tiu). Dari warna-warni itu tersirat kebhinnekaan/kemaje- mukan/pluralisme, dan dalam kemajemukan yang kental dengan perbedaan itu perlu harmonisasi seperti diisyaratkan dengan cairan gula yang dicampur dengan Onde, ada pula yang memberikan jahe, sehingga terasa manis dan hangat. Hendaknya demikian pula dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, beragama, meski berbeda dalam adat-istiadat, keyakinan, namun bermuara dalam NKRI dengan bingkai Pancasila. (lihat: Lun Gie XIII:23). 
 Penganan Umum. Selain empat jenis penganan yang disajikan sesuai dengan musim, seperti yang sudah dipaparkan, terdapat jenis penganan lain yang umumnya sering tersaji dalam persembahyangan. Penganan itu, ialah: 
Kuwe Khu, terbuat dari tepung berbentuk seperti tempurung kura-kura, sejenis hewan ampibi yang dapat hidup di darat dan di air serta dapat hidup dalam waktu lama. Kura-kura dalam Hong Sui/Feng Shui dianggap sebagai ‘Empat Jenis Hewan Purba’ , tiga hewan lainnya ialah Liong, Hong, dan Kilin. Menurut praktisi Hong Sui, kura-kura perlu dipelihara, dan masih ada kepercayaan untuk melepas kura-kura besar yang pada punggungnya ditulisi aksara-aksara tertentu bagi orang yang dirundung malang yang berkepanjangan. Dari jenis kuwe ini, tersirat pesan agar dalam menjalani hidup hendaknya tidak melupakan ‘rumah’ dan memiliki kepekaan seperti kura-kura, yang selalu membawa tempurungnya sebagai rumah, dan jika disentuh cepat-cepat menyembunyikan kepalanya. Juga terkandung restu leluhur, agar usia panjang menyertai hidup generasi pelanjutnya. 
 Kuwe Mangkok. Penganan yang dibuat dari bahan baku tepung beras ini, dapat dianggap baik jika permukaannya merekah seperti buah Delima. Yang berwarna putih tersaji dalam persembahyangan duka, sedangkan yang berwarna merah dalam persembahyangan umum. Makna yang terkandung adalah agar penghidupan yang digeluti dapat berkembang diliputi kebahagiaan. 
 Dari jenis penganan, kita beralih ke jenis buah-buahan. Seperti halnya jenis penganan, tidak semua jenis buah yang dapat disimak makna luhur yang terkandung di dalamnya. Beberapa jenis buah yang dapat kita simak, ialah: 
Pisang, tanaman jenis musa. Banyak sekali jenis pisang, diantaranya raja, mas, raja sereh, nangka, siam, tanduk, kepok, barangan, dan lain-lain.Tanaman ini hanya sekali berbuah diawali dengan keluarnya ‘jantung’. Dalam persembahyangan, yang lazim dijadikan sajian ialah jenis pisang raja dan/atau pisang mas, hanya yang disebut terakhir agak sulit diperoleh di pasar sehingga tidak lagi begitu sering terlihat jenis pisang ini tersaji di altar sembahyang. Dari bunyi kata cio/zhao berarti melambai (memanggil dengan melambaikan tangan), mengandung ‘harapan’ agar keluarga dapat memperoleh kedudukan mulia (seperti raja) dan/atau mendapatkan kekayaan (seperti emas). Terkandung pula harapan agar tidak mendustai hati nurani (Liang Sim) dan perlu diingat bahwasanya hidup di dunia fana ini hanya sekali sebagaimana tersirat dari ‘jantung’ pisang dalam mana buah-buah itu berasal. 
Jeruk, nama latinnya Citrus aurantium, tanaman yang termasuk keluarga citrus, mempunyai berbagai jenis dan varietas. Isinya beberapa ulas (juring), rasanya ada yang manis, ada yang asam (jeruk limau, nipis) ada pula yang asam manis (jeruk ‘bali’, ‘tawangmangu’). Dari bunyi kata Yu/You berarti melindungi. Maka dalam persembahyangan, pisang dan jeruk selalu ‘bersanding’ karena mengandung makna mengharap atau memohon perlindungan-Nya. Mengapa kita tidak pernah melihat jeruk limau atau jeruk nipis disajikan dalam persembahyangan? Karena kedua jenis jeruk itu tidak pernah ada yang rasanya manis. Oleh karena itu, kita jangan berwajah kecut (asam) seperti rasanya kedua jenis jeruk itu, sebab wajah kecut tidak disuka. 
 Delima, nama latinnya Puneca Granatum adalah tumbuhan perdu bercabang rendah dan berduri jarang, daunnya kecil-kecil agak kaku berwarna hijau berkilap buahnya berkulit kekuning-kuningan hingga merah tua, dapat dimakan, kalau sudah masak, merekah. Rekahan tersebut rupanya mengilhami satrawan kita sehingga kita mengenal kalimat kiasan ‘Bibirnya bak delima merekah’.Dari bunyi kata Shi Liu berarti berkembang biak dan bermutu, maka ada kepercayaan bagi yang ingin mempunyai anak agar bertanam pohon Delima, hanya perlu diingat bukan hanya berkembang biak saja tapi juga bermutu atau dengan kata lain, tidak hanya mengutamakan kuantitas tetapi juga kualitas! Delima dapat disingkat D 5, kalau dieja satu persatu menjadi: D atang, D uduk, D iam, D engar, D harma. Suatu sikap yang patut direnungkan dalam ibadah bersama (kebaktian), bukan hanya jumlah umat (kuantitas) yang kita utamakan tetapi juga kualitas ibadah itu. 
 Srikaya, nama latinnya Annona Squamosa adalah tumbuhan yang berbatang rendah (3-4 meter), buahnya berbentuk bulat dan kulit luarnya kasar bermata banyak, berwarna hijau keputih-putihan. Dagingnya putih agak kasar dan berbiji banyak, rasanya manis. Dari nama buah ini, Sri, sebagai gelar kehormatan bagi raja (Sri Baginda, Sri Sultan, Sri Ratu), dan Kaya, sebagai ungkapan bagi yang memiliki banyak uang, harta, dsb. Maka kandungan makna ialah mohon restu agar dapat memperoleh kedudukan mulia serta kekayaan. 
 Belimbing, dengan nama latin Averrhoa Carambola, jenis tumbuhan berdaun majemuk, tinggi pohon antara 5 – 12 meter, termasuk axalidaceae, buahnya ada yang manis dan ada yang dibuat sayur (belimbing wuluh/averrhoa bilimbi). Bentuk buahnya agak bulat memanjang bergerigi (berjuring) lima, berwarna kuning keputih-putihan. Dari bentuk buah yang berjuring lima itu, mengingatkan kita kepada ajaran ‘lima hubungan kemasyarakatan’ agar dapat berfungsi sebagaimana mustinya, sebagai pimpinan dengan bawahan, suami dengan isteri, orangtua dengan anak, kakak dengan adik, kawan dengan sahabat. Hubungan horisontal ini amat penting dalam menunjang hubungan vertikal (hubungan dengan Hong Thian, Khalik semesta alam), sebagaimana yang diungkapkan oleh Beng Cu kepada Cee Swan Ong (Raja Swan dari negeri Cee), bahwa Tuhan YME menurunkan (menciptakan) manusia ada yang dijadikan raja, ada yang dijadikan guru, dengan maksud untuk membantu pekerjaan Tuhan Yang Maha Tinggi mencintai umat manusia di empat penjuru (Beng Cu I-B:3,7). 
 Nanas/Nenas, dengan nama latin Ananas Comosus adalah tanaman tropis dan sub tropis, bentuk buahnya bulat memanjang, kulitnya bersusun-sisik, berbiji mata banyak, daunnya berserat dan berduri pada kedua belah sisinya, daging buahnya berwarna kuning dan/atau putih kekuning-kuningan, mengandung banyak cairan, rasanya ada yang manis/manis agak asam, dimakan sebagai buah segar atau diawetkan menjadi selai, sirup, dan lain-lain. Sebagai sesajen, kulitnya dikupas tapi biji-mata yang lekat pada dagingnya serta daun yang berada di ujung buah itu tidak dibuang, sehingga nampaknya seperti kepala manusia yang bermahkota. Dan biasanya disajikan pada saat upacara duka. Tersirat pesan luhur bahwasanya agar keluarga almarhum/ah tumbuh berkembang dan mendapatkan kedudukan > Hauw Keng I:5 (seperti daun diujung buah yang berbentuk mahkota) serta waspada terhadap keadaan di sekelilingnya (seperti biji-mata yang lekat mengitari daging buah itu). 
 Selain nanas, yang sering terlihat pada sajian dalam upacara duka, juga tebu dengan nama latin Saccharum Officinarum. Tebu jenis rumput-rumputan berbatang tinggi dan beruas, air yang terkandung pada batangnya terasa manis dan menjadi bahan baku membuat gula. Tumbuh berumpun dan tidak bercabang, Kandungan makna luhur yang ialah agar keluarga yang tengah berduka meski ditinggalkan untuk selama-lamanya oleh orangtua, tetapi tetap bersatu dalam kebersamaan dengan memelihara keharmonisan. 
 Semangka atau Citrullus Valgares adalah jenis tumbuhan yang menjalar, buahnya berbentuk bulat hampir menyerupai bola volley, daging buahnya ada yang berwarna merah ada pula yang berwarna kuning. Bijinya sangat banyak, walau sekarang terdapat buah semangka tanpa biji. Buah yang satu ini digunakan untuk “mengantar” keberangkatan jenazah dengan cara dibanting hingga pecah di depan kendaraan yang akan mengantar jenazah ke pemakaman atau ke krematorium. Makna luhur yang tersirat ialah hubungan lahiriah atau kebersamaan antara almarhum/ah dengan keluarganya telah putus (diisyaratkan dengan pecahnya buah semangka) tetapi kemesraan batiniah dalam ke luarga tetap tampak dan agar diingat bahwa dari asal yang satu itu dapat berkembang menjadi berlipat ganda, seperti yang dapat dilihat ketika buah semangka yang dibanting pecah akan terlihat warna merah dan biji yang sekian banyak, jika biji-biji itu ditanam akan menghasilkan buah yang sedemikian banyak. 
 Bagi umat Khonghucu Indonesia terutama yang masih tradisional, dalam upacara sembahyang yang dilaksanakan, khususnya dalam upacara duka dan perkabungan, selain tiga jenis hewan korban (Sam Seng), penganan, dan buah-buahan, juga menyertakan bunga yang lebih sering terlihat ketika menggelar upacara-upacara sembahyang besar kepada Tuhan, Nabi, para Suci (Sien Beng ), Liep Gwan/Li Yuan umat dan pernikahan. Diantara jenis bunga yang digunakan, ialah: 
Sian Tan/Xian Dan berwarna merah. Dari nama bunga ini mengandung arti ‘obat dewa’. Kandungan makna yang tersirat agar selalu berada dalam kondisi sehat wal’afiat bagi seluruh keluarga. Ada yang mengatakan bahwa kesehatan itu bukan apa-apa, tetapi yang ‘apa-apa’ itu tidak berarti tanpa kesehatan! Oleh karena itu, diingatkan bahwa harta benda dapat menghias rumah, laku bajik menghias diri, hati yang lapang menjadikan tubuh sehat. Maka seoerang Kuncu/Junzi (Insan kamil) senantiasa mengimankan tekadnya. (Thay Hak VI:4) 
 Su Kiok/Zu Qi berwarna kuning. Dari nama bunga ini mengandung arti ‘kaki & memohon (do’a)’. Dan warna kuning menyiratkan kemuliaan/keagungan/keluhuran. Seperti yang kita maklum bahwa kaki menopang badan, dan dengan kaki kita dapat berjalan menempuh jarak yang jauh sekalipun, untuk mencapai titik yang kita tuju. Begitu pula halnya dengan bersembahyang, dalam mana do’a dikemas harapan dan permohonan yang dipanjatkan ke hadirat Hong Thian, Khalik semesta alam, kita mohon berkah, karunia, perlindungan dari-Nya agar kita mampu mengemban tugas dan kewajiban serta mewujudkan harapan atau cita-cita mulia yang kita idam-idamkan. 
Dengan demikian berarti sembahyang merupakan ‘media’ untuk menyampaikan harapan, permohonan, selain pujian kepada Dia, Sang Pencipta. Maka dalam kitab Lee Kie/Li Ji XXII:12, bagian Sempurnanya Persembahyangan, antara lain dinyatakan bahwa sesungguhnya, sembahyang/ibadah ialah yang terbesar dari semua hal. Segala pirantinya disiapkan lengkap, tetapi kelengkapannya itu disesuaikan dengan keperluannya., bukan-kah ini menjadi pokok dari agama? Maka agama yang diamalkan seorang Kuncu, keluar dibimbingkan, bagaimana memuliakan pemimpin dan para tua (sesepuh-pen.) dan ke dalam dibimbingkan, bagaimana berbakti kepada orangtuanya. ….Maka dikatakan, Sembahyang/ibadah itu (adalah) pokok/akar dari agama.” Tasbe atau tasbih, dari nama bunga ini berarti puji-pujian kepada Tuhan (lihat:KBBI). Maka apabila kita simak arti kata do’a, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan. Dengan demikian, bila kita bersembahyang tidak asal ‘cung cep’ (hio diacungkan lalu ditancep)! 
Melati, adalah jenis bunga yang lazim digunakan untuk melengkapi Sam Po/Tiga Mustika yang tersaji pada altar Nabi. Dalam lagu Rayuan Pulau Kelapa ciptaan komponis besar Indonesia, Ismail Marzuki, terdapat lirik ‘pulau melati pujaan bangsa’ . Dan ketika almarhumah Ibu Tien sebagai Ibu Negara, mencanangkan bunga Melati sebagai bunga bangsa.Juga dalam pernikahan adat di Pulau Jawa, bunga yang satu ini dirangkai dan diikat pada bagian belakang kepala mempelai perempuan. Agaknya warna putih dan keharuman bunga ini, 
sebagai lambang kesucian dan kebersihan bagi seseorang untuk memperoleh keharuman nama. Air, dalam cawan (cangkir kecil) selalu tersaji pada altar. Dalam sabda Nabi dinyatakan bahwa yang bijaksana gemar akan air (Lun Gie VI:23). Dan dalam dialog dengan Ko Cu, Beng Cu menjelaskan bahwa air memang tidak dapat membedakan antara Timur dan Barat, tetapi tidakkah dapat membedakan antara atas dan bawah? Watak Sejati manusia cenderung kepada (hal-hal) yang baik laksana air yang mengalir ke bawah.Orang tidak ada yang tidak cenderung kepada yang baik seperti air tidak ada yang tidak mengalir ke bawah. Kini kalau air itu ditepuk, dapat terlontar naik melewati dahi, dan dengan membendung dan memberi saluran-saluran dapat diarahkan mengalir hingga ke gunung. Tetapi benarkah ini watak air? Itu tentu bukan hal yang sewajarnya. Begitupun kalau orang sampai menjadi tidak baik, tentu karena Watak Sejatinya diperlakukan seperti itu.” (Beng Cu VI-A:2). Dinyatakan pula dalam kitab Tiong Yong XXX:2, bahwa kebajikannya tersebar luas, dalam, tenang dan mengalir tiada henti-hentinya, ibarat air yang keluar dari sumbernya. Demikianlah, air secara simbolis mengandung pesan-pesan luhur. 
 Kesimpulan & Penutup
 Bahwa orangtua-orangtua tempo doeloe banyak yang “menyimpan” petuahnya yang terkait dengan ajaran agama “di dalam kandungan” sajian yang dipersembahkan dalam persembahyangan. Para beliau menempuh kebijakan tersebut karena merasa khawatir kalau-kalau yang diucapkan belum dapat diwujudkan dengan baik. Bahwa sangat berarti dan bermanfaat sekali jika sajian yang dianggap sebagai persembahan bakti itu terdiri dari jenis sajian yang memang disuka oleh almarhum/ah semasa hidupnya, tetapi tidak berarti memberi makan kepada yang sudah mati! Namun jenis sajian tentunya tidak harus sama bilamana diperuntukan dalam persembahyangan kepada Tuhan (Hong Thian), Nabi (Seng Jin), para Suci (Sin Beng). Bahwa sesuai dengan petunjuk tentang Makna Sembahyang (Cee Gi/Ji Yi) dan SempurnaNya Sembahyang (Cee Thong/Ji Tong) maka persembahan bakti perlu dilakukan dengan hati yang tulus, bukan dilihat dari mewahnya yang disajikan.
Apalagi kalau tinggi hati, suka berselisih dan berkelahi meski setiap hari menyajikan sam seng, dia tetap sebagai anak yang tidak berbakti (Hauw Keng X:3). Terlebih lagi dalam upacara duka diperlukan suatu kesederhanaan dan jenis-jenisnya pun tidak harus mengundang perdebatan (Lun Gie III:4,3). Sesungguhnya Nabi Khong Cu tidak menentukan suatu jenis sajian harus ada di altar sembahyang (Beng Cu V-B: 4,6). Bahwa terkadang persembahyangan yang digelar dengan sajian berlimpah di meja altar semata-mata tidak didasari dengan ketulusan hati, tetapi cenderung dipengaruhi oleh gaya hidup ‘biar tekor asal kesohor’! Bahwa kebijaksanaan merupakan ‘kata kunci’ dalam menentukan jenis-jenis sajian yang akan dijadikan sebagai persembahan bakti oleh keluarga (lihat: Beng Cu II-B:7). 
 Sumber: www.spocjournal.com

Back to posts
Comments:

Post a comment


* The Wisdom of Confucius
☀Kumpulan Sanjak, dan kisah kisah bijak yang penuh makna kebajikan ini membawa kita pada perubahan Hidup yang lebih baik.!!

*Total_:13706_Hitz

[[✧ Beranda ✧]]

The Soda Pop